Belitung|Satamexpose.com – Terbitnya aturan pengelolaan sedimentasi laut yang melandasi pembukaan
ekspor pasir laut seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun
2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang ditandatangani Presien
Jokowidodo pada 15 Mei 2023 dinilai
rapuh dan tidak didasari kajian yang matang.
Ketua HNSI Belitung, H. Moctar Motong ketika
dihubungi Satamexpose.com
mengatakan pihaknya secara tegas menentang kebijakan tersebut dan
secepatnya akan menggelar konsolidasi akbar bersama organisasi pencinta
lingkungan hidup, Organisasi Kepariwisataan, Organisasi Pemda dan LSM yang ada
di Belitung.
“Kita akan berdiskusi guna mencari solusi agar peraturan
ini tidak diterapkan di Provinsi Babel, terkhusus di Pulau Belitung dan kita
akan bersurat secara resmi kepada Presiden terkait masalah ini,” katanya, Sabtu
(10/6).
Menurutnya, peraturan tersebut jika di terapkan di
Belitung akan berdampak besar bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya
dari hasil laut.
“Selain itu kita juga merupakan daerah destinasi
wisata, akan jadi apa pariwisata kita yang memang mengandalkan keindahan laut,
pantai serta gusung yang dihasilkan dari sedimentasi laut itu,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive
Fishing Watch (DFW) Indonesia, Muhammad Abdi Sahufan berpendapat landasan
penyusunan PP nomor 26 tahun 2023 dinilai tidak merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurutnya, konsideran PP no. 26/2023 satu-satunya
rujukan hanya Undang-undang No. 32/2014 tentang Kelautan pada pasal 27 yang
menyebutkan bahwa pengelolaan ekosistem pesisir dan laut ditunjuk untuk
pemulihan dari kerusakan lingkungan.
Sedangkan PP 26/2023 terkait pembersihan laut dari
sedimentasi, termasuk untuk tujuan ekspor pasir laut menurutnya bukanlah dalam
upaya memulihkan kerusakan lingkungan.
Landasan penyusunan PP No. 26/2023 sangat rapuh.
Kebijakan ini dibuat tanpa prinsip dasar dan tujuan yang jelas bagi lingkungan dan
ekosistem laut,” kat Abdi seperti yang dilansir Kompas.com (3/6) lalu. (ram)