Syarifah Amelia saat mendengarkan tuntutan JPU dalam persidangan di PN Tanjungpandan. SatamExpose.com/Ferdi Aditiawan |
TANJUNGPANDAN,
SATAMEXPOSE.COM – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Beltim menuntut
terdakwa perkara dugaan tindak pidana pelanggaran Pilkada Beltim Syarifah
Amelia pidana denda Rp 6 juta.
Pembacaan
tuntutan terhadap terdakwa dilakukan dalam persidangan yang digelar di
Pengadilan Negeri Tanjungpandan, Senin (30/11/2020). Dalam tuntutannya, JPU
berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.
JPU
menilai terdakwa melakukan tindak pidana Pilkada di Beltim sesuai dengan
dakwaan tunggal, melanggar Pasal 187 ayat 2 Jo Pasal 69 huruf c UU No 10
Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua UU No 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubenur,
Bupati dan Wali Kota menjadi UU.
JPU
juga meminta barang bukti berupa satu buah flasdisk berisikan video kampanye
terdakwa berdurasi 33 detik dikembalikan kepada saudara Haris.
JPU
menilai adapun hal yang memberatkan yakni, terdakwa berbelit-belit saat
memberikan keterangan sedangkan hal yang meringankan, terdakwa belum pernah
dihukum.
Selain
itu, JPU menyebutkan berdasarkan fakta yang terungkap dalam tahap pembuktian
mengenai unsur-unsur pidana pemilu sebagai berikut yang berbunyi:
Menurut
JPU, terdakwa dengan sengaja melanggar ketentuan pelanggaran larangan
berkampanye, pelanggaran yang berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai
politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat.
Dengan
terpenuhinya unsur tersebut, maka JPU berpendapat, berkeyakinan terdakwa
terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana. Oleh karena telah terbukti
bersalah sudah sepatutnya terdakwa dijatuhi hukuman yang setimpal sesuai
perbuatannya.
Pasca
mendengar pembacaan tuntutan, ketua tim penasehat hukum terdakwa Ali Nurdin
meminta majelis menunda sidang sampai pukul 20.00 WIB untuk penyampaian
pembelaan (pledoi).
"Karena
tadi sidang tertunda hampir enam jam dari rencana pukul 10.00 WIB baru dimulai
pukul 14.30 WIB. Maka kami minta penundaan enam juga untuk mempersiapkan
pledoi," ujar Ali Nurdin usai mendengarkan tuntutan JPU dalam persidangan.
Ketua
Majelis Hakim Himelda Sidabalok didampingi AA Niko Brama Putra dan Rino Adrian
Wigunadi mengabulkan permintaan penasehat hukum dan menunda sidang sampai pukul
20.00 WIB.
"Sidang
diskors sampai pukul 20.00 WIB dengan agenda mendengarkan pembelaan (pledoi)
dari terdakwa melalui penasihat hukumnya," ujar Himelda Sidabalok seraya
mengetuk palu.
Usai
sidang, Ali Nurdin menilai adanya kemajuan perkara ini bagi kubunya. Pasalnya JPU
menuntut kliennya dengan tuntutan denda Rp 6 juta, bukan pidana penjara.
Meski
begitu, Ali Nurdin mengatakan dalam masalah ini bukan dilihat dari besaran
denda tapi justru keadilan, yakni peristiwa yang didakwakan itu merupakan suatu
kesalahan atau tidak.
"Ini
semata-mata bukan permasalahan menyangkut Amel. Karena kalau ini diterima
begitu saja, akan berakibat pada masyarakat luas, dimana kalau masyarakat
berbicara sesuatu yang tidak bermaksud memfitnah, menghasut dan mengadu domda
tiba-tiba bisa ditafsirkan secara akuntario," kata Ali Nurdin.
Ali
Nurdin menilai penerapan tafsir akuntario berbahaya bagi kelangsungan hidup
berdemokrasi. Sebab, hukum pidana selalu mengenal azas legalitas yang
mengajarkan bahwa tidak seorang pun bisa dipidana, kecuali ada ketentuan yang
tegas mengatur pidana tersebut.
Selain
itu, lanjutnya, hukum pidana juga sangat ketat karena negara harus dibatasi
dalam melaksanakan tanggungjawabnya, terutama membatasi kebebasan rakyatnya.
"Langkah
selanjutnya kami akan menyusun pledoi dan sudah diberi kesempatan. Nanti pledoi
tertulis akan kami sampaikan nanti," ujar Ali Nurdin. (fat)