Jalan yang akan dialihkan di Tanjung Tinggi, Sijuk, Minggu (27/1/2019). SatamExpose.com/Faizal |
TANJUNGPANDAN,
SATAMEXPOSE.COM - Gabungan Pecinta Alam Belitong (Gapabel)
menilai pemberian izin pengalihan jalan di Desa Tanjung
Tinggi, Sijuk sangat melukai hati masyarakat. Terlebih pengalihan jalan ini terlihat ada upaya privatisasi pesisir pantai yang menjadi ikon pariwisata Belitung.
Tinggi, Sijuk sangat melukai hati masyarakat. Terlebih pengalihan jalan ini terlihat ada upaya privatisasi pesisir pantai yang menjadi ikon pariwisata Belitung.
Ketua Gapabel Pifin
Heriyanto mengatakan, hal tersebut membatasi hak masyarakat dalam mengunjungi
pantai tersebut. Terlebih, masyarakat setempat menggunakan lokasi tersebut
sebagai mata pencahariannya.
"Itu jelas membatasi
hak masyarakat yang sudah secara turun temurun menggunakan jalan dan lokasi
tersebut. Selain itu juga yang pasti pengalihan jalan itu tidak memiliki
landasan hukum," ujar pria yang akrab disapa Thelenk ini kepada SatamExpose.com, Minggu (27/1/2019).
Thelenk menjelaskan,
Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan judicial review UU No 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Khususnya, mengenai Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).
Peraturan tersebut membatasi
penguasaan bibir pantai. Pihak perusahaan atau individu bisa menguasai lahan
dengan batas 100 meter dari pasang tertinggi air laut.
"Hal ini jelas diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Perpres Nomor 51/2016 dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 atau
UU WP3K," jelas Thelenk.
Lebih lanjut, jelas Thelenk,
Perpres No 51/2016 ini berlaku efektif sejak tanggal 19 Juni 2016 lalu. Didalam
Perpres itu mengatur bahwa, penghitungan sempadan pantai dilakukan oleh
pemerintah daerah paling lama 5 tahun sejak diundangkannya Perpres ini.
"Penghitungan dilakukan
dengan menyesuaikan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi
pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain terkait sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 51/2016," tambah Thelenk.
Pasal tersebut berbunyi,
perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami, perlindungan pantai dari erosi
atau abrasi;
perlindungan sumber daya
buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; perlindungan
terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang,
padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta.
Tak kalah penting, lanjut
Thelenk, pengalihan jalan tersebut seperti mengebiri hak masyarakat. Dimana
dengan pengalihan jalan tersebut terjadi privatisasi pantai yang sebelumnya
menjadi ruang publik.
"Jangan sampai hanya
gara-gara kepentingan sekelompok orang
mengorbankan masyarakat banyak, jangan sampai seperti daerah pariwisata
di tempat lain yang jelas ruang ruang publik telah habis dikuasai
pemodal," jelas Thelenk.
Ia mengimbau pihak
legislatif dan eksekutif di Belitung tidak membiarkan terampasnya ruang publik
seperti di daerah-daerah lain untuk kepentingan sekelompok pihak. Gapabel juga
mendesak agar pemangku kebijakan tidak mengizinkan rencana pengalihan jalan
tersebut.
"Sebelum terlambat
alangkah lebih bijak, baik itu legiatif maupun eksekutif bertindak nyata.
Jangan hanya sekedar jargon-jargon untuk membela hak masyarakat," kata
Thelenk. (als)